RMS Dibalik Konflik Islam-Nasrani
Yang Terjadi Di Maluku
Oleh : Syarifuddin A. Natonis
Sedikit flash back dan mengupas kembali konflik berisukan agama yang terjadi di Maluku. Kita mungkin pernah mendengar konflik di Maluku yang menelan korban ribuan dari pihak Muslim maupun non muslim, lalu berita mengenai tertangkapnya Tibo Cs sebagai dalang RMS yang kemudian dihukum mati oleh aparat kepolisian Republik Indonesia. Menurut berita-berita yang acap kali dimuat dalam surat kabar maupun televisi, konflik yang terjadi di Maluku merupakan konflik antar masyarakat Maluku yang beragama Islam dan yang beragama Kristen. Hal ini senada dengan pernyataan resmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa penyebab dari konflik tersebut adalah karena sejumlah konflik horizontal yang bernuansakan agama. Padahal sejak minggu pertama konflik terjadi, pihak Islam telah langsung menuduh RMS (Republik Maluku Selatan) adalah dalang dibalik semua kekacauan yang terjadi, mereka ingin memberontak yang kedua kalinya terhadap kedaulatan Republik Indonesia dengan memanfaatkan isu konflik umat beragama. Karena sebagimana yang kita ketahui bahwasannya perbandingan presentase jumlah umat Islam dan Kristen yang ada dimaluku kurang lebih 50 % : 50 %, dan juga karena mayoritas pendukung RMS adalah masyarakat Maluku yang beragama Kristen Katolik. Tuduhan umat Islam ini bukan tanpa alasan dan bukti, karena konflik seperti ini pernah terjadi yaitu pemberontakan RMS pada 25 April 1950 silam, yang dimana juga menjadikan alasan konflik beragama sebagai alat untuk memerdekakan diri.
Maksud RMS dengan mengkambing hitamkan umat Islam dan Kristen adalah semata-mata agar mereka bisa menghindar dari kejaran aparat keamanan, lalu bebas bergerak dalam mengatur taktik pemberontakannya. Satu hal yang luput dari perhatian aparat kemanan adalah RMS (Republik Maluku Selatan) selalu siap berperang, mereka memiliki armada yang menyaru sebagai rakyat biasa dan badan khusus yang bertugas untuk kegiatan propaganda dan diplomasi yang dapat diketahui dari pemberitaan-pemberitaan yang memutar balikkan fakta baik itu didalam negri ataupun diluar negri seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Salah satu fakta yang tidak sempat disinggung dalam berita-berita nasional tersebut adalah, selama periode 6 bulan pertama (sampai akhir juli 1999) pihak Kristen dengan RMS sebagai otak penggeraknya terus menyerang umat Islam hingga menimbulkan korban dalam jumlah besar dari pihak umat Islam baik itu korban nyawa maupun korban hrta benda yang tidak senpat diselamatkan, lalu kemudian terjadilah pengungsian besar-besaran masyarakat Islam keluar Maluku.
Satu hal keji yang tidak semestinya terjadi di Negara yang terkenal dengan mayoritas umat Islamnya ini adalah, Pemerintah Indonesia hanya sebatas sebagai penengah saja, karena terlanjur beranggapan bahwa konflik yang terjadi adalah konflik beragama antara umat Islam dan umat Kristen, tanpa berani mengambil tindakan pengusutan secara mendalam.
Akibatnya, banyak kalangan yang memandang sebelah mata perjuangan umat Muslim Maluku dalam mempertahankan jiwa raganya, agamanya dan kedaulatan negaranya dalam menghadapi ancaman RMS (Republik Maluku Selatan). Yang masuk kedalam pemberitaan hanyalah ketika umat Islam mengadakan serangan balasan terhadap umat Kristen, tanpa memperhatikan mengapa sehingga umat Islam mengadakan penyerangan balasan tersebut.
Masyarakat luas tentu saja akan lebih percaya terhadap penjelasan pemerintah disbanding keluhan umat Islam Maluku. Bahkan ketika umat Islam merasakan bahaya yang mengancam semakin besar, pemerintah justru menuduh umat Islam Maluku tidak menghendaki adanya perdamaian. Entah kepentingan politik seperti apa yang melatar belakangi sehinggga pemerintah tidak berani mengambil statement bahwa RMS_lah dalang dibalik semua kekacauan yang terjadi. Sehingga dengan didukung oleh kondisi nasional yang sedang morat-marit dan keberhasilan Timor-Timor melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia, RMS semakin meningkatkan intensitas pemberontakannya baik itu dengan jalan kontak fisik maupun dengan cara diplomasi. Pemerintah seolah-olah takut terhadap kekuatan dibalik pemberontakan RMS, oleh karenanya pemerintah sengaja menghindari penyelesaian konflik Maluku sebagai pemberontakan.
Kondisi keamanan yang telah membaik seperti sekarang ini sesungguhnya adalah karena ajaran Islam yang mengharuskan umat Islam untuk menghentikan aksi pembalasan terhadap musuh-musuhnya.
RMS (Republik Maluku Selatan) berusaha meyakinkan dunia bahwa bangsa Maluku (menurut Front Kedaulatan Maluku [FKM], bukan suku Maluku) sedang mengalami aksi pemusnahan masal dari muka bumi, yang dipropogandakan dengan istilah Christian Cleansing diawal konflik, yang kemudian diganti dengan sebutan Genocide oleh Front Kedaulatan Maluku [FKM], yang berjuang mencapai kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) melalui jalur diplomasi Internasional. Dan juga RMS menggunakan jalur propaganda konflik beragama dan jalur diplomasi karena kekuatan TNI-Polri dengan didukung oleh umat Islam Maluku tidak sebanding dengan kekuatan mereka, karenanya mereka menggunakan pola yang paling efisien yaitu jalur politik seperti yang pernah ditempuh oleh pendahulu mereka Fretilin dalam mencapai kemerdakaan Timor Leste.
Karena itu penyelesaian konflik Maluku bukan yang hanya tampak dipermukaan saja, tetapi harus secara mendasar hingga keakar-akarnya meliputi ;
1. Ancaman berkepanjangan ideology separatis Republik Maluku Selatan harus ditumpas hingga keakar-akarnya oleh pemerintah melalui suatu kebijaksanaan yang dituangkan dalam undang-undang Negara dan peraturan-peraturan pelaksanannya. Masyarakat Kristen harus pro-aktif dalam pelaksanannya, karena permasalahan ideology separatis ini memang mendapat habitat hidup ditengah-tengah masyarakat Kristen Maluku.
2. Isu konflik horizontal hembusan RMS mengenai konflik beragama antara umat Islam dan Kristen Maluku harus dihilangkan, karena isu semacam ini mudah membakar dendam para penganutnya terutama penganut agama Kristen.
Kenyataan ini sudah semestinya menyadarkan kita masyarakat Indonesi seluruhnya bahwa bahaya yang mengancam kedaulatan Rerpublik Indonesia sewaktu-waktu bisa timbul, tinggal kemnali kepada kita rakyat Indonesia untuk menyikapi segala perbedaan yang ada dengan sebaik-baiknya.